Jumat, 04 Desember 2009

analisa pasal 31 UU no 24 tahun 2009

Kemunculan UU nomor 24 tahun 2009 saat ini memang menuai kontroversi di kalangan praktisi hukum. Bagaimana tidak, dalam pasal 31 UU tersebut, menyatakan bahwa setiap perjanjian harus memakai bahasa indonesia. “Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam notakesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.” Pasal ini membuat kalangan praktisi hukum kewalahan, karena draft perjanjian yang sudah dibuat dalam bahasa inggris, harus dibuat dalam bahasa indonesia. Lantas,apakah pasal 31 tidak melanggar atau mengubah isi pasal 1320, yang justru tidak mengatur perjanjian harus dibuat dalam bahasa indonesia.
Mari kita perhatikan konstruksinya. Syarat sahnya perjanjian sendiri diatur dalam pasal 1320 KUHPer. 2 syarat objektif, yang jika dilanggar dapat dibatalkan(voidable) dan 2 syarat objektif, yang jika dilanggar batal demi hukum(void). Sejauh ini memang tidak ditemukan kewajiban pemakaian bahasa indonesia. Namun, dalam point ke4 dalam pasal 1320, menyatakan harus adanya ‘kausa halal’, dimana dalam pasal 1337 KUHPer diatur mengenai kausa tidak halal : “suatu sebab adalah terlarang jika dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.” Poin yang akan saya cermati adalah suatu sebab(‘kausa halal’) adalah terlarang jika dilarang oleh undang-undang.”. Maka dengan munculnya pasal 31 UU nomor 24 tahun 2009, yang tidak merumus ketentuan secara negative(melarang), namun merupakan rumusan positif(meWAJIBkan). Maka dampaknya adalah jika suatu perjanjian yang tidak cocok dengan ketentuan UU(dalam hal ini, tidak menjalankan kewajiban pasal 31 UU no.24 tahun 2009), sama saja dengan pelanggaran terhadap UU, yang merujuk kepada pasal 1337 KUHPer. Yang berujung pada batalnya perjanjian demi hukum.
Pasal 31 UU no.24 tahun 2009 memang tidak membuat syarat sahnya perjanjian jadi 5(menambah poin keharusan berbahasa indonesia), namun merupakan turunan dari poin mengenai ‘kausa yang halal’. Jadi, kesimpulan yang dapat diambil adalah bahasa indonesia wajib menjadi bahasa yang dipakai dalam perjanjian. Kecuali jika perjanjian dibuat dengan salah satu pihak adalah dari pihak asing, maka bolehlah dibuat satu lagi draft perjanjian, yang sama aslinya, dengan bahasa inggris.(pasal 31 ayat (2) UU no.24 tahun 2009)

0 komentar: